BAB I
PENDAHULUAN
Sektor
pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam
perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam
sumbangannya terhadap PDB, penyedia lapangan kerja dan penyediaan pangan dalam
negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat
masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi
negara industri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan
salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri
pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk
mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi
fungsi lahan pertanian.
BAB II
PEMBAHASAN
Agus Wiryana, salah seorang praktisi sekaligus pengamat
pertanian, Rabu (7/3) kemarin menerangkan, sampai saat ini petani sangat sulit
mengubah pola pikir demi kemajuan. Karakter petani kuat. Mereka sulit diajak
mengubah pola tanam, komoditi yang dibudidayakan dan sebagainya.
Seseorang datang ingin mengajak petani mengembangkan
komoditi tertentu yang memiliki pasar jelas. Namun petani tidak mudah
menerimanya. “Perlu waktu dan teknik pendekatan. Kalau sudah ada bukti, semua
petani sekitarnya akan mudah bergabung,” katanya.
Beberapa bulan lalu, pihaknya ingin bekerja sama dengan
pembudi daya ikan nila. Pengumpulan data saja tidak mudah, semua petani ikan
nila tertutup sehingga diperlukan pendekatan khusus. Ternyata, pembudi daya
ikan nila kekurangan benih. Selama ini benih yang didapat baru 25 persen dari
kebutuhan. “Maka itu, kami sekarang ini melakukan kerja sama penyediaan benih.
Masalah pemasaran hasil ikan nila masih teratasi,'' katanya.
Widhiarta pengamat pertanian lainnya menyatakan, untuk
melibatkan petani harus ada bukti. Pembuktian inilah menjadi kendala karena
perlu waktu dan hasilnya harus kontinyu. Selama ini, petani yang memproduksi
padi diajak membudidayakan pepaya, cabai dan lain sebagainya sangat sulit.
Mereka perlu bukti. Hasil budi daya yang baru tersebut pasarnya prospektif.
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Denpasar, Ir. AA
Gde Bayu Brahmastha, MMA. mengatakan, mengubah pola pikir
petani/peternak/nelayan memang sulit. Akan tetapi, cara pendekatan akan
memudahkan pembinaan.
Selama ini melakukan pembinaan dengan mengajak petani
umumnya melihat sentra atau demplot yang sudah ada. Pembelajaran langsung
tersebut akan memudahkan untuk memberikan pembelajaran baru secara nyata.
Contoh lainnya, berangkat dari mimpi untuk mandiri, para petani
kentang di Dataran Tinggi Dieng pun memunculkan gagasan ekonomi kerakyatan.
Dan, kini, mimpi itu terwujud. Ya, kini, mereka memiliki lembaga perbankan yang
kuat berupa koperasi peduli masyarakat atau kopmas. Koperasi beranggota ribuan
orang petani itu memiliki kekayaan miliaran rupiah.
Padahal, kali pertama menghimpun dana mereka hanya mampu
mengumpulkan modal awal Rp 15 juta dari iuran. Sumekto Hendro Kustanto (46)
adalah orang paling berpengaruh dan menjadi pemrakarsa pendirian koperasi itu.
Dia merangkul seluruh kepala desa di Kecamatan Kejajar untuk bersatu dengan
tujuan sama: memandirikan petani. Dia menuturkan gagasan mendirikan koperasi
muncul pertengahan 2003. Ya, pegawai negeri sipil di Kejajar itu memiliki
ide-ide yang acap tergolong liar dan tak kenal batas. ’’Sekarang koperasi itu
sudah berkembang.
Saya sangat bersyukur,’’katanya. Dia menyatakan pengembangan
koperasi berbasis petani di Wonosobo salah satu solusi tepat. Sebab, pelaku
usaha daerah Dieng didominasi para petani sehingga tak sepantasnya petani hanya
menjadi objek perbankan dan tak bisa menjadi penggerak. Usai membentuk
koperasi, dia mengumpulkan para pemangku kebijakan. Pelatihan manajemen
pengelolaan koperasi, pembukuan keuangan, dan strategi penyelenggaraan koperasi
serba-usaha mandiri merupakan langkah awal untuk mewujudkan koperasi berbasis
petani itu. ’’Orang-orang yang dulu jadi pengurus progam PNPM Mandiri desa
keluar,’’ ujar dia.
Optimistis Waktu itu, Sumekto optimistis banyak sumber daya
manusia di sekitar Dieng yang mampu mengelola koperasi. Sebagian di antara
mereka adalah sarjana ekonomi, juragan kentang, dan perangkat desa yang
rata-rata mempunyai lahan pertanian. Model transaksi di koperasi ini, kata dia,
berlandaskan kepercayaan. Artinya, petani yang meminjam uang tak perlu
menggunakan agunan atau jaminan seperti di bank. Untuk menggalang dana
koperasi, setiap anggota menanamkan modal bervariasi antara Rp 1 juta dan tak
terbatas. Para dermawan dan juragan kentang yang mapan diperbolehkan investasi
dengan sistem bagi hasil yang jelas. Tak kalah menarik adalah model penagihan
utang bagi nasabah yang ngemplang. Karena bermodal kepercayaan, mereka tak
pernah menggunakan jasa penagih utang. Jika ada yang menunggak akan dikunjungi
para petani lain ke rumah. ’’Cara itu cukup efektif karena para petani malu
ditagih berombongan.’’ Sumekto menyadari betul langkah itu sangat menantang.
Namun dia yakin para petani harus diajak berkembang agar
mandiri. Sebab, tidak selamanya pemerintah menggelontorkan progam bantuan ke
kelompok tani. Manfaat lain dari koperasi berbasis petani adalah bisa mendapat
modal, pelatihan, dan pegelolaan manajemen usaha. Setiap kali ada kesempatan,
Sumekto menengok koperasi beranggota lebih dari 4.000 orang dengan omzet
sekitar Rp 3 miliar itu. Kali Pertama Tak hanya soal penyediaan dana, koperasi
juga menyediakan akses bagi petani yang butuh pupuk dan keperluan pertanian.
Akhir 2011, koperasi itu menggandeng Bank Bukopin untuk perluasan akses pasar.
Salah satu bank nasional itu menjual hasil panen petani
dengan harga terjaga. Tafrihan, pengurus koperasi, mengemukakan pengembangan
koperasi berbasis petani baru kali pertama di Wonosobo. Langkah itu diyakini
bakal berhasil karena di Wonosobo mayoritas pelaku usaha dari kalangan petani.
Dia menuturkan prospek koperasi yang digagas Sumekto dan kawankawan bisa
diterapkan di tingkat desa dalam bentuk berbeda dari konsep koperasi petani
selama ini. Sejauh ini setelah mendapat pelatihan, para petani akan mengikuti
rangkaian studi banding di dua daerah dengan manajemen usaha yang baik, yakni
Jepara dan Kudus. Para petani juga mendapatkan akses permodalan dan jaminan
pasar hasil panen. Gedung koperasi itu cukup mewah dengan interior modern.
Koperasi yang berdiri 19 September 2003 itu dibuatkan akta pendirian 9 Juli 2009.
Setiap pagi di halaman gedung koperasi di Jalan Dieng Km 17 Gataksari, Desa
Serang, Kejajar, ramai nasabah. Mereka mayoritas orangorang desa.
Siang hari petani yang baru pulang dari ladang mampir untuk
mengurus pencairan dana atau menabung. Saat berbincang-bincang di rumahnya di
Bukit Madukoro, Desa Bomerto, di bawah kaki Gunung Sindoro, Sumekto terlihat
santai. Sambil mengisap rokok dan minum teh hangat, dia menyatakan bersyukur
dan selalu berdoa untuk kelancaran koperasi agar petani tetap mandiri. Petani
Dieng, kata dia, mampu mengendalikan harga hasil panen, tanpa campur tangan
pemodal dari luar daerah. Karena itulah dia sungkan disebut pemrakarsa koperasi
trersebut, meski saat ini dia didaulat jadi pembina.
BAB III
PENUTUP
Mengajak petani berbisnis memang tidak mudah, diperlukan
modal dan pendekatan agar petani mau mencoba dalam berbisnis. Juga diperlukan
wawasan untuk dapat berkomunikasi dengan baik kepada para petani. Agar semua
itu dapat terwujud, sebaiknya kita melakukan persiapan yang cukup dalam menghadapi
resiko yang akan datang sewaktu-waktu.
Referensi
http://www.bisnisbali.com/2012/03/08/news/denpasar/uk.html
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/04/15/183312/Mengajak-Mandiri-Petani-lewat-Koperasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar