Sabtu, 05 Mei 2012

hak milik

BAB I
PENDAHULUAN

Hak Milik adalah kepemilikan atas sesuatu (al-mal atau harta benda) dan kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya, Penguasaan seseorang terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta tersebut, berasal dari kata Milkiyah (hak milik) merupakan bagian terpenting dari hak ‘ainiy. Milik adalah keistimewaan (ihtishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syar’iy


BAB II
PEMBAHASAN

Untuk menciptakan kepastian hukum selain diperlukan perangkat hukum yang jelas, konsisten dalam penggunaan konsep juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal. Sebagaimana diketahui bahwa prinsip hukum memegang fungsi ganda yakni sebagai fondasi dari hukum positif dan sebagai batu uji terhadap hukum positif itu karena prinsip hukum sebagai kaidah penilai.
Dengan adanya ketentuan yang tumpang tindih, demikian pula banyaknya permasalahan yang terjadi dalam implementasinya, maka perlu pula dilakukan penelitian mengenai prinsip hukum dalam perolehan hak atas tanah, prinsip hukum dalam pembangunan perumahan dan penormaannya dalam peraturan perundang-undangan di bidang perumahan.

Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat komplek, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut. Dari pengertian tersebut maka dapat diambil berbagai unsur yang ada ketika bicara mengenai sistem yaitu:

1. Adanya satu kesatuan yang bersifat komplek
2. Adanya bagian-bagian atau komponen-komponen
3. Bagian-bagian atau komponen-komponen tersebut saling bekerjasama
4. Bekerjanya komponen-komponen itu untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh kesatuan tersebut

Dalam pembicaraan mengenai sistem hukum, maka peraturan-peraturan yang nampaknya berdiri sendiri itu sebenarnya diikat oleh beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya yakni prinsip hukum. Dengan adanya ikatan oleh prinsip atau asas hukum ini maka hukum pun merupakan suatu sistem. Karena merupakan suatu sistem maka peraturan yang dibuat antara satu dengan yang lain harus sinkron baik secara vertikal maupun horisontal, untuk mencapai tujuan. Koesnoe mengemukakan bahwa dalam sistem tata hukum kita maka baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang tidak tertulis beserta segala peraturan pelaksanaannya, diwajibkan untuk selalu mengikuti dan berjiwa rechtsidee yang dianut negara kita.

Dalam sistem hukum pertanahan kita maka antara peraturan hukum pertanahan yang satu dengan peraturan yang lain tidak boleh bertentangan demi mencapai tujuan yang dikehendaki Berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai maka tidak terlepas dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan dasar konstitusional politik hukum pertanahan nasional yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sebagaimana diketahui bahwa Asas domein yang dianut pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana dimuat dalam Agrarisch Besluit Stb. 1870/118, memposisikan Negara sebagai pemilik tanah. Hal demikian jelas bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas negara yang merdeka dan modern. Berdasarkan Penjelasan Umum Angka II Butir (2) UUPA dikemukakan “tidaklah perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa Bangsa Indonesia atau Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) Indonesia bertindak selaku badan penguasa”.

Hak menguasai negara tersebut bersumber dari hak bangsa Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUPA ini tidak terlepas dari konsepsi hukum adat yakni “komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan”.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum pertanahan kita dasarnya adalah hukum adat. Dalam hukum adat hak ulayat adalah hak penguasaan tanah yang tertinggi. Hak ulayat merupakan hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa hak ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat adat tertentu atas wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

Kewenangan negara tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti halnya yang terjadi di negara barat dan komunis. Negara dalam hal ini sebagai badan penguasa yang pada tingkat tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus bertanggung jawab kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa.
Kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal yakni:

Dibatasi oleh oleh UUD 1945, bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh bertentangan atau melanggar hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Misalnya peraturan yang dibuat tidak boleh bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain. Jika ini terjadi maka merupakan bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945. Dalam hal seseorang mau melepas haknya maka mereka harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanannya tersebut. Prinsip pengakuan atau penghormatan terhadap hak-hak orang lain itu harus dirumuskan secara tegas dan jelas dalam peraturan perundang-undangan.

Pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA maka semua peraturan yang dibuat harus ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan ini tidak dapat didelegasikan pada organisasi swasta karena menyangkut kesejahteraan rakyat yang sarat dengan misi pelayanan. Pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat juga, sehingga jika pendelegasian kepada swasta tersebut dilakukan maka akan menimbulkan konflik kepentingan.


Wewenang pengaturan oleh negara itu ditujukan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Arti dari sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang tanpa melanggar hak dan keadilan, sedangkan arti pentingnya kesejahteraan dalam hubungannya dengan pemanfaatan tanah karena tujuan negara untuk melengkapi dan mendukung usaha masyarakat.

BAB III
PENUTUP

Terdapat Badan Hukum dan Undang-undang yang mengatur tentang Hak kepemilikan atas sesuatu.



SUMBER PEMBAHASAN :

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=26&ved=0CEUQFjAFOBQ&url=http%3A%2F%2Fimages.kseiundip.multiply.multiplycontent.com%2Fattachment%2F0%2FSu%40xHQoKCI8AAEf0bL41%2F4.%2520Konsep%2520Hak%2520Milik.ppt%3Fkey%3Dkseiundip%3Ajournal%3A2%26nmid%3D294755127&ei=eESVT5nwN4e8rAfF6cHVBg&usg=AFQjCNFbL0xCijfSsJHTWnPkigUtyNJDsQ&sig2=2pCo4PkOP4dOuCAwgMpT4Q

http://benafta.wordpress.com/2011/01/16/harta-dan-hak-milik-dalam-perspektif-hukum-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar