BAB I
PENDAHULUAN
Hak Milik adalah kepemilikan atas sesuatu (al-mal atau harta benda) dan
kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya, Penguasaan seseorang
terhadap suatu harta sehingga seseorang mempunyai kekuasaan khusus
terhadap harta tersebut, berasal dari kata Milkiyah (hak milik)
merupakan bagian terpenting dari hak ‘ainiy. Milik adalah keistimewaan
(ihtishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan
pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada
halangan syar’iy
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk menciptakan kepastian hukum selain diperlukan perangkat hukum
yang jelas, konsisten dalam penggunaan konsep juga harus didasarkan pada
prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal. Sebagaimana
diketahui bahwa prinsip hukum memegang fungsi ganda yakni sebagai
fondasi dari hukum positif dan sebagai batu uji terhadap hukum positif
itu karena prinsip hukum sebagai kaidah penilai.
Dengan adanya ketentuan yang tumpang tindih, demikian pula banyaknya
permasalahan yang terjadi dalam implementasinya, maka perlu pula
dilakukan penelitian mengenai prinsip hukum dalam perolehan hak atas
tanah, prinsip hukum dalam pembangunan perumahan dan penormaannya dalam
peraturan perundang-undangan di bidang perumahan.
Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat komplek, yang terdiri dari
bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan
pokok dari kesatuan tersebut. Dari pengertian tersebut maka dapat
diambil berbagai unsur yang ada ketika bicara mengenai sistem yaitu:
1. Adanya satu kesatuan yang bersifat komplek
2. Adanya bagian-bagian atau komponen-komponen
3. Bagian-bagian atau komponen-komponen tersebut saling bekerjasama
4. Bekerjanya komponen-komponen itu untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh kesatuan tersebut
Dalam pembicaraan mengenai sistem hukum, maka peraturan-peraturan yang
nampaknya berdiri sendiri itu sebenarnya diikat oleh beberapa pengertian
yang lebih umum sifatnya yakni prinsip hukum. Dengan adanya ikatan oleh
prinsip atau asas hukum ini maka hukum pun merupakan suatu sistem.
Karena merupakan suatu sistem maka peraturan yang dibuat antara satu
dengan yang lain harus sinkron baik secara vertikal maupun horisontal,
untuk mencapai tujuan. Koesnoe mengemukakan bahwa dalam sistem tata
hukum kita maka baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang
tidak tertulis beserta segala peraturan pelaksanaannya, diwajibkan untuk
selalu mengikuti dan berjiwa rechtsidee yang dianut negara kita.
Dalam sistem hukum pertanahan kita maka antara peraturan hukum
pertanahan yang satu dengan peraturan yang lain tidak boleh bertentangan
demi mencapai tujuan yang dikehendaki Berkaitan dengan tujuan yang
hendak dicapai maka tidak terlepas dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
merupakan dasar konstitusional politik hukum pertanahan nasional yang
menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di
dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar ketentuan dalam
Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang
dimaksudkan dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sebagaimana
diketahui bahwa Asas domein yang dianut pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda sebagaimana dimuat dalam Agrarisch Besluit Stb. 1870/118,
memposisikan Negara sebagai pemilik tanah. Hal demikian jelas
bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas negara
yang merdeka dan modern. Berdasarkan Penjelasan Umum Angka II Butir (2)
UUPA dikemukakan “tidaklah perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa
Bangsa Indonesia atau Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah
lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
(bangsa) Indonesia bertindak selaku badan penguasa”.
Hak menguasai negara tersebut bersumber dari hak bangsa Indonesia. Dalam
Pasal 1 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah
kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUPA ini tidak terlepas
dari konsepsi hukum adat yakni “komunalistik religius yang memungkinkan
penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan”.
Sebagaimana diketahui bahwa hukum pertanahan kita dasarnya adalah hukum
adat. Dalam hukum adat hak ulayat adalah hak penguasaan tanah yang
tertinggi. Hak ulayat merupakan hak bersama masyarakat hukum adat atas
tanah. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa hak ulayat adalah kewenangan yang
menurut adat dipunyai oleh masyarakat adat tertentu atas wilayah
tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut
bagi kelangsungan hidupnya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud
tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Kewenangan negara tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara
negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan
penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti halnya yang terjadi di
negara barat dan komunis. Negara dalam hal ini sebagai badan penguasa
yang pada tingkat tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam
arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan
hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus
bertanggung jawab kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa.
Kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal yakni:
Dibatasi oleh oleh UUD 1945, bahwa hal-hal yang diatur oleh negara
tidak boleh bertentangan atau melanggar hak-hak dasar manusia yang
dijamin oleh UUD 1945. Misalnya peraturan yang dibuat tidak boleh bias
terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain. Jika
ini terjadi maka merupakan bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945. Dalam
hal seseorang mau melepas haknya maka mereka harus mendapat
perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanannya
tersebut. Prinsip pengakuan atau penghormatan terhadap hak-hak orang
lain itu harus dirumuskan secara tegas dan jelas dalam peraturan
perundang-undangan.
Pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat
oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA maka semua peraturan
yang dibuat harus ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kewenangan ini tidak dapat didelegasikan pada organisasi swasta karena
menyangkut kesejahteraan rakyat yang sarat dengan misi pelayanan. Pihak
swasta merupakan bagian dari masyarakat juga, sehingga jika
pendelegasian kepada swasta tersebut dilakukan maka akan menimbulkan
konflik kepentingan.
Wewenang pengaturan oleh negara itu ditujukan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Arti dari sebesar-besar kemakmuran
rakyat adalah kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang tanpa melanggar
hak dan keadilan, sedangkan arti pentingnya kesejahteraan dalam
hubungannya dengan pemanfaatan tanah karena tujuan negara untuk
melengkapi dan mendukung usaha masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Terdapat Badan Hukum dan Undang-undang yang mengatur tentang Hak kepemilikan atas sesuatu.
SUMBER PEMBAHASAN :
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=26&ved=0CEUQFjAFOBQ&url=http%3A%2F%2Fimages.kseiundip.multiply.multiplycontent.com%2Fattachment%2F0%2FSu%40xHQoKCI8AAEf0bL41%2F4.%2520Konsep%2520Hak%2520Milik.ppt%3Fkey%3Dkseiundip%3Ajournal%3A2%26nmid%3D294755127&ei=eESVT5nwN4e8rAfF6cHVBg&usg=AFQjCNFbL0xCijfSsJHTWnPkigUtyNJDsQ&sig2=2pCo4PkOP4dOuCAwgMpT4Q
http://benafta.wordpress.com/2011/01/16/harta-dan-hak-milik-dalam-perspektif-hukum-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar