BAB I
PENDAHULUAN
Siklus rutin kenaikan harga pangan yang melonjak pada Juni-Agustus
sebenarnya telah diketahui pasti oleh para pejabat pemerintah dan
perumus kebijakan di Indonesia. Laju inflasi Juli 2011 diperkirakan
lebih tinggi dari laju inflasi Juni, yang tercatat 0,55 persen bulanan
(atau 5,54 persen tahunan), karena naiknya indeks pada kelompok bahan
makanan. Selain lonjakan harga pada Juni-Agustus, harga pangan,
khususnya beras, umumnya juga meningkat pada November-Desember.
BAB II
PEMBAHASAN
Sepanjang Juli, harga beras kualitas murah sampai sedang telah naik
melampaui 10 persen. Kenaikan itu berhubungan dengan ekspektasi pedagang
dan konsumen terhadap kenaikan harga. Pernyataan pejabat pemerintah
yang berniat melakukan impor beras—walau dengan alasan untuk mengisi
cadangan nasional—juga ikut memengaruhi tingkah laku harga eceran beras
dan harga produk pangan lainnya.
Psikologi pasar komoditas pangan juga mendapat beban tambahan karena
awal Ramadhan terjadi awal Agustus, yang secara siklikal harga beras
memang melonjak karena pola panen beras yang sangat khas. Sekitar 65
persen dari produksi beras di Indonesia dihasilkan pada periode panen
raya dan 35 persen sisanya pada panen gadu. Hal yang menjadi
keprihatinan masyarakat adalah, pada awal Juli, Badan Pusat Statistik
(BPS) mengumumkan ramalan kenaikan produksi sampai 68 juta ton gabah
(sekitar 40 juta ton beras), naik 2,40 persen per tahun, yang seharusnya
lebih dari cukup untuk memenuhi lonjakan konsumsi menjelang Ramadhan
sekalipun.
Kejadian yang berulang setiap tahun selama bertahun-tahun seharusnya
lebih dari cukup untuk digunakan sebagai acuan dalam perencanaan
pembangunan, organisasi kebijakan, dan mekanisme pelaksanaannya di
lapangan. Masyarakat seharusnya tidak lagi menonton ketergopohan pejabat
pemerintah dalam menyikapi dan merespons fenomena rutin tersebut
seandainya perencanaan pembangunan ekonomi, khususnya dalam bidang
pertanian dan pangan, disusun berdasarkan data, fakta, dan teori yang
solid.
Tidak perlu rapat-rapat mendadak tentang stabilisasi harga dan operasi
pasar beras menjelang Ramadhan, juga tidak perlu ada instruksi presiden
(inpres) tambahan secara lisan kepada para kepala daerah untuk
menstabilkan harga pangan (Kompas, 30/7/2011), jika sistem organisasi
kebijakan (delivery system) mampu mendukung pelaksanaan program di
lapangan.
Indonesia sebenarnya punya landasan kebijakan tentang stabilisasi harga
yang tertulis secara baik, dirumuskan secara susah payah, melibatkan
para ahli dan pemangku kepentingan, yang tentu saja tidak murah.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2011 tentang
Pengamanan Produksi Beras Nasional dalam Menghadapi Kondisi Iklim
Ekstrim dan Inpres Nomor 8 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengamanan
Cadangan Beras yang Dikelola oleh Pemerintah dalam Menghadapi Kondisi
Iklim Ekstrim.
Seandainya Indonesia punya pemerintahan yang berwibawa, aparat birokrasi
yang kompeten secara moral dan keilmuan, serta pejabat publik mengerti
tugas dan tanggung jawabnya, fenomena rutin kenaikan harga pangan ini
dapat ditanggulangi. Setidaknya, kalaupun harga pangan melonjak, dampak
yang dirasakan masyarakat tidak akan terlalu berat karena sistem
insentif yang ada menjadi mekanisme peredam (cushion) dampak yang lebih
buruk.
Untuk itu, perencanaan pembangunan menjadi salah satu kunci penting yang
mampu berperan dalam kinerja kebijakan secara keseluruhan. Perencanaan
pembangunan dan perencanaan kebijakan ekonomi wajib punya landasan
teori, basis data, dan empiri yang kuat serta dukungan anggaran dan
sumber daya manusia yang andal. Terus terang, landasan teori pembangunan
pertanian adalah sesuatu yang agak rumit dan komprehensif sehingga
tugas para perencana dan pelaksana kebijakan (plus ilmuwan serta kaum
terdidik lain) untuk menyederhanakannya sehingga mampu lebih operasional
di lapangan.
Ketidakmampuan memahami kerumitan, sofistikasi dan interdependensi
sekian macam variabel pembangunan pertanian yang demikian dinamis tentu
akan sangat berpengaruh pada kinerja kebijakan pertanian dan tentu saja
kesejahteraan petani dan masyarakat umum lainnya. Ada dua hal krusial
yang harus segera dibenahi.
Pertama, perencanaan produksi pangan perlu lebih realistis, terutama
mengingat fenomena perubahan iklim yang telah membawa dampak yang
demikian masif. Serangan hama wereng di beberapa sentra produksi padi di
Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak dapat dipisahkan dari fenomena musim
hujan berkepanjangan tahun 2010. Para perencana pembangunan seharusnya
telah memperhitungkan faktor ekologi yang berpengaruh pada ledakan
populasi hama wereng dan serangga lain, seperti ulat bulu.
Minimal target-target tahunan produksi pangan dapat disesuaikan dengan
kondisi eksternal tersebut, program-program pendampingan dan
pemberdayaan petani dapat lebih membumi, lokasi spesifik, dan tepat
sasaran sehingga peningkatan kesejahteraan petani juga lebih dapat
diwujudkan. Aparat birokrasi di pusat dan daerah sentra produksi tidak
harus berakrobat mencari pembenaran, apalagi hanya berorientasi
pencitraan. Inpres No 5/2011 harus jadi acuan kebijakan untuk mewujudkan
program pengamanan produksi beras di lapangan. Setidaknya petani yang
menderita gagal panen karena ledakan wereng dan dampak perubahan iklim
lainnya akan merasa diperhatikan oleh pemerintah.
Kedua, perencanaan dan manajemen cadangan pangan perlu lebih membumi
tanpa harus melalui silang pendapat tidak produktif antara Perum Bulog
dan Kementerian Pertanian. Fakta yang ada, kinerja pengadaan beras dalam
negeri belum memenuhi harapan karena keengganan pemerintah untuk
menaikkan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras. Di tingkat
daerah, manajemen cadangan pangan ini wajib dilaksanakan dengan serius
karena ketahanan pangan adalah urusan wajib daerah. Sangat ironis karena
hingga Mei 2011 hanya 9 provinsi dan 10 kabupaten/kota yang telah
menjalankan kebijakan cadangan pangan.
BAB III
PENUTUP
1.KESIMPULAN
kenaikan harga pangan berhubungan dengan kualitas perencanaan
pembangunan dan implementasi kebijakan negara. Jika instrumen kebijakan
telah lengkap dan kinerja stabilisasi harga pangan masih seperti ini
saja, hanya ada satu kemungkinan yang tersisa, yaitu efektivitas
pemerintahan.
SUMBER PEMBAHASAN :
http://barifin.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar