1. Pengertian Etika
Etika
(Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan")
adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang
mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan
penilaian moral.Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar
salah, baik buruk, dan tanggung jawab.
St.
John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat
praktis (practical philosophy).
Etika
dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat
spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena
pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk
itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia.
Secara
metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.
Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan
refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek
dari etika adalah tingkah laku manusia.Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu
lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang
normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan
manusia.
Etika
terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika
normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan
nilai-nilai etika).
2. Prinsip-Prinsip
Etika
Tuntutan
profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing
profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku
untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang
paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja
prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada
umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum
profesional sejauh mereka adalah manusia.
1.
Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi
kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang
yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak
hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya
untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil
yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan
pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia
sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan
tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung
dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga
bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan
orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat
dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak
disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa
macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai
telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2.
Prinsip kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang
yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka
profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan
profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya
.prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan
perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya .jadi,
orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar
dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas
pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang
miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari
beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit
tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu
untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya
kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan.
Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional
dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang
banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan
orang tersebut.
3.
Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang
dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi
kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan
kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional
ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut
campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada
pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang
bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi
tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas
mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang
kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas.
Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu / peraturan
yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran
yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut
ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang
dikerjakan oleh profesional tersebut.
Hanya
saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi
oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan
profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi
ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara
khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam
menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan
kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa
kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional,
pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar
pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi,
otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama.
Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan
tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu,
termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu
dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah
wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi.
Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan
etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri
profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah
ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama
pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin
dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah.
4.
Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas
terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya
integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen
pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan
orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan
tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas
profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat
profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung
jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan
diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan
menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan
yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya
integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan
menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan
prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia
tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror,
fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan.
Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan
niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan
profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan
atau profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran
nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain, prinsip integritas moral
menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh, khususnya dalam
memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan
pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku profesi
(profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran
tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut,
melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam melayani
masyarakat.
3. Basis Teori Etika
Basis
teori etika dibagi menjadi 4 macam, yaitu pertama adalah etika Teleologi.
Istilah teleologi berasal dari bahasa Yunani yang artinya adalah tujuan, di
mana etika teleologi mengandung arti mengenai mengukur baik buruknya suatu
tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Terdapat 2 aliran
etika teleologi yaitu, egoisme etis dan utilitarianisme. Egoisme etis memiliki pandangan
bahwa tindakan dari setiap manusia pada dasarnya bertujuan untuk mengejar
pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral kita
sebagai manusia adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya.
Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika cenderung menjadi hedonistis,
yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata
sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar. Sedangkan utilitarianisme yang
berasal dari bahasa Latin utilis yang berarti bermanfaat, memiliki pandangan
bahwa suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus
menyangkut bukan saja satu dua orang
melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rangka pemikiran utilitarianisme,
kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan
terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
Basis
teori etika yang kedua adalah Deontologi. Istilah dentologi berasal dari bahasa
Yunani deon yang berarti kewajiban, di mana yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan
kita sebagai manusia adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima
dalam konteks agama, sekarang juga merupakan salah satu teori etika yang
terpenting.
Basis
teori etika yang ketiga adalah Teori Hak. Dalam pemikiran moral dewasa ini,
teori hak adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya
suatu perbuatan atau perilaku manusia. Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan
dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak
didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena
itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
Basis
teori etika yang ketiga adalah Teori Keutamaan, di mana mengandung arti memandang
sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan
tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa
didefinisikan sebagai disposisi
watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.
Contoh keutamaan adalah kebijaksanaan, keadilan, suka bekerja keras, dan hidup
yang baik.
4. Egoisme
Karena
teori etika Egoisme Etis mendasarkan diri pada teori Egoisme Psikologis, maka
sebelum membahas Egoisme Etis ada baiknya kita kaji dulu Egoisme Psikologis.
1. Egoisme Psikologis
1.1. Pendapat pokok
faham egoisme psikologis:
Egoisme
psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya
secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya
sendiri. Menurut faham ini, apa yang disebut sebagai sikap altruis (y.i. sikap
mau mencintai dan berkorban diri demi kepentingan orang lain) hanyalah mitos
belaka. Kalau dalam praktek kehidupan sehari-hari nampaknya terjadi, hal itu
memang hanya nampaknya saja demikian. Sebab apabila orang mau meneliti apa
motivasi sesungguhnya yang mendorong dilakukan tindakan itu, akan menjadi nyata
bahwa tindakan altruis itu tidak lain hanyalah bentuk terselubung dari cinta
diri.
1.2. Argumentasi untuk
menolak kemungkinan adanya sikap altruis sungguh-sungguh:
1.2.1. Setiap tindakan
yang dilakukan dengan bebas padadasarnya muncul dari pilihan pelakunya untuk
melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk dilakukan. Misalnya seorang yang
menyumbangkan uangnya ke proyek sosial pengumpulan dana bagi para korban gempa
bumi tidak dapat dikatakan bahwa ia bersikap altruis, sedangkan yang memakainya
untuk menonton film bersikap egois. Karena pada keduanya, si pelaku hanyalah
melakukan apa yang masing-masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu
justru merasa senang dan bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada
proyek sosial, sedangkan yang lain merasa senang dan bahagia kalau dapat
melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini yang ia inginkan adalah
menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang menguntungkan
untuk dirinya sendiri.
1.2.2. Suatu tindakan
hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau motivasi
sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa tindakan itu
sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang yang menyumbangkan uangnya
ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa yang ingin dia lakukan, ia merasa
senang dan puas dan kemudian dapat tidur dengan pulas di waktu malam karena
merasa telah menunaikan tugasnya dengan baik. Sedangkan kalau ia tidak
menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, maka hatinuraninya terus merasa
terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai
pamrih pribadi.
1.2.3. Untuk
menjelaskan pendapat di atas, Thomas Hobbes (1588-1679) dan kemudian
dikembangkan oleh Moritz Schlick (1881-1936) mengajukan pendapat bahwa untuk
menilai suatu tindakan, orang perlu menemukan motivasi sesungguhnya dari
tindakan tersebut, dan untuk ini orang perlu tidak hanya berhenti pada
penafsiran yang dangkal. Menyebut suatu tindakan sebagai ungkapan sikap altruis
menurut dia merupakan suatu penafsiran yang terlalu dangkal terhadap kejadian
yang sesungguhnya. Kalau orang mau mengakui kenyataan, motivasi yang
sesungguhnya selalu mengandung unsur cinta diri. Sebagai contoh misalnya apa
yang disebutcintakasih. Motivasi yang sesungguhnya di balik tindakan menolong
orang lain adalah mau menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari yang lain,
lebih mampu, lebih unggul dari yang ditolong. Dalam tindakan berbelaskasih,
alasan yang sebenarnya mengapa kita mempunyai rasa belaskasih terhadap sesama
manusia yang menderita adalah karena kita sendiri berharap agar kalau kita
berada dalam situsai macam itu orang lain pun berbelaskasih atau mau menolong
kita. Pada orang yang berbelaskasih ada kekhawatiran jangan-jangan penderitaan
atau kemalangan yang sama nanti suatu ketika juga menimpa dirinya.
1.3. Tanggapan kritis:
Seperti
pernah secara cukup jeli dikemukakan oleh James Rachels,[1] argumentasi yang
mendasari faham egoisme psikologis sepintas nampak sulit dibantah, namun
argumentasinya sebenarnya muncul karena beberapa kerancuan pengertian. Kalau
kerancuan tersebut dapat diurai, menjadi jelas bahwa argumentasi mereka yang
menganut egoisme psikologis tidak dapat dipertahankan. Sekurang-kurangnya
terkandung tiga jenis kerancuan pengertian dalam argumentasi yang dikemukakan
oleh para penganut dan penganjur egoisme psikologis. Kerancuan yang pertama
adalah kerancuan pengertian antara egoisme dalam arti mendahulukan kepentingan
diri sendiri (selfishness) dan egoisme dalam artiberguna untuk diri sendiri
(self-interest). Keduanya tidak sama. Kalau saya mematuhi hukum yang berlaku
atau bekerja keras di kantor, ini tidak dapat dikatakan bahwa saya egois dalam
arti hanya mendahulukan kepentingan diri saya sendiri. Perbuatan itu memang
pada dasarnya berguna (atau mungkin lebih tepat bernilai) untuk diri saya
sendiri. Arti yang kedua ini sebenarnya tidak tepat untuk disebut egois. Dalam
pengertian egois sebenarnya selalu terkandung penilaian negatif bahwa si pelaku
tidak mempedulikan kepentingan orang lain dan hanya mementingkan dirinya
sendiri melulu.
Kerancuan
yang kedua adalah kerancuan antara pengertianperilaku yang mengejar kepentingan
diri (self-interested behavior)dan perilaku yang disukai, karena memberi nikmat
(the pursuit of pleasure). Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal seringkali
kita lakukan memang karena kita menyukainya. Tetapi kenyataan bahwa kita
melakukan suatu perbuatan karena kita menyukainya, atau bahwa perbuatan itu
membawa kenikmatan tersendiri bagi kita, tidak dengan sendirinya dapat
dikatakan bahwa perbuatan kita itu muncul berdasarkan motif egoisme, dalam arti
hanya mengejar kepentingan diri sendiri. Kalau ada orang yang suka menghisap
rokok kretek dalam-dalam setelah makan siang, karena hal itu terasa nikmat
untuknya, kita tidak dapat mengatakan bahwa perbuatan orang itu dengan
sendirinya bermotifkan egoisme. Baru kalau dalam menghisap rokok tersebut ia
sama sekali tidak peduli akan keluhan tetangganya yang sedang sakit flu, maka
perbuatan itu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang egois.
Kerancuan yang ketiga adalah kerancuan
pengertian bahwa suatu perhatian akan kepentingan diri sendiri selalu tidak
dapat diselaraskan dengan kepentingan sejati dari orang lain. Karena sudah jelas
bahwa setiap orang (atau hampir setiap orang) selalu memperhatikan apa yang
menjadi kepentingannya, para penganut egoisme psikologis menarik kesimpulan
bahwa setiap orang itu egois dan tidak pernah secara sungguh-sungguh
memperhatikan kepentingan orang lain. Anggapan ini tentu saja keliru.
Pengejaran kepentingan diri sendiri tidak dengan sendirinya bertabrakan dengan
kepentingan orang lain.Memang tidak jarang terjadi bahwa timbul tabrakan antara
kepentingan diri kita sendiri dengan kepentingan orang lain.Tetapi hal ini
tidak selalu terjadi, dan kalau itu terjadi, tidak dengan sendirinya pula bahwa
kita mendahulukan kepentingan diri kita sendiri seraya mengorbankan kepentingan
orang lain.Kenyataan bahwa ada orang yang secara tulus berkorban untuk orang lain,
seperti seorang ibu bagi anaknya, seorang gadis bagi pemuda idamannya, dsb.,
membuktikan bahwa dalam berbuat, orang pada dasarnya secara psikologis tidak
selalu didorong oleh egoisme.
Dalam
usaha untuk menemukan faktor pokok yang menentukan tindakan manusia, para
penganut egoisme psikologis melupakan bahwa motivasi tindakan manusia itu dapat
bersifat kompleks. Menyatakan bahwa semua tindakan manusia pada dasarnya
didorong oleh motivasi egois merupakan suatu penyederhanaan yang mengabaikan
kompleksitas tersebut. Pernyataan yang bersifat reduksionistik (terlalu
menyederhanakan) itu juga mengungkapkan sikap yang terlalu sinis terhadap
perbuatan baik orang. Dengan alasan menekankan kejujuran untuk mengakui apa
yang sesungguh-nya menjadi motivasi seseorang untuk bertindak, lalu secara
sinis terlalu cepat curiga akan maksud baik orang lain.
2. Egoisme Etis
2.1. Pendapat pokok
faham egoisme etis:
Egoisme
etis adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib
memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri. Dengan kata
lain, menurut faham ini, tindakan yang baik dan dengan demikian wajib diambil
adalah tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Satu-satunya kewajiban
manusia adalah mengusahakan agar kepentingannya sendiri dapat terjamin.
Ini
tidak berarti bahwa kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan. Karena,
bisa jadi demi pencapaian hasil yang paling menguntungkan untuk diri sendiri,
orang justru perlu mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam hal ini kenyataan
bahwa tindakan itu membawa keuntungan atau kebaikan untuk orang lain bukanlah
hal yang membuat tindakan tersebut benar. Yang membuat tindakan itu benar
adalah fakta bahwa tindakan itu menunjang usaha untuk memperoleh apa yang
paling menguntungkan bagi dirinya.
Faham
ini juga tidak bermaksud menganjurkan untuk mencari nikmat pribadi
sepuas-puasnya, seperti halnya diajarkan oleh faham Hedonisme. Justru dalam
banyak hal faham Egoisme Etis melarang pencarian nikmat pribadi, karena hal itu
dalam jangka panjang justru tidak menguntungkan. Yang dianjurkan oleh Egoisme
Etis adalah agar setiap orang melakukan apa yang sesungguhnya dalam jangka
panjang akan menguntungkan untuk dirinya (“A person ought to do what really is
to his or her own best advantage, over the long run.”) Egoisme Etis memang
menganjurkan “selfishness” tetapi bukan “foolishness”.
2.2. Argumen-argumen
untuk mendukung Egoisme Etis:
Argumen
pertama yang biasanya dipakai untuk mendukung Egoisme Etis adalah kenyataan
bahwa kalau kita mau mengusahakan hal-hal yang menguntungkan semua pihak,
masing-masing orang justru wajib memperhatikan kepentingannya sendiri. Karena
yang paling tahu tentang apa yang paling dibutuhkan oleh seseorang adalah orang
itu sendiri, dan bukan orang lain. Kalau kita cenderung mau mengurusi orang
lain, dapat terjadi bahwa kita justru tidak menguntungkan semua pihak.
Seperti
dinyatakan oleh Robert G. Olson dalam bukunya The Morality of Self-Interest
(1968), “The individual is most likely to contribute to social betterment by
rationally pursuing his own best long-range interests” (“Masing-masing individu
akan paling menyumbang pada perbaikan sosial [kalau masing-masing individu]
dengan secara rasional mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi
kepentingannya sendiri yang paling baik”). Masing-masing orang sendiri lah yang
paling tahu akan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Kita tidak pernah tahu
persis apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain. Kalau kita mencampuri
urusan orang lain, campurtangan ini justru malah hanya merusak
kesejahteraannya, karena bersifat ofensif bagi kebebasannya untuk menentukan
diri. Mencampuri urusan orang lain dapat melanggar prinsip “privacy” seseorang.
Menjadikan orang lain sebagai objek atau sasaran perbuatan karitatif kita, sama
saja dengan merendahkan martabatnya. Dengan memperhatikan kepentingan orang
lain, kita dapat menciptakan situasi ketergantungan dan kurang menghargai
kemampuan serta harga diri orang yang ditolong.
Argumen
yang kedua mendasarkan diri pada keunggulan Egoisme Etis dibandingkan dengan
Etika Altruis dalam menjunjung tinggi nilai hidup masing-masing individu.
Seperti dinyatakan oleh Ayn Rand (dalam bukunya The Virtues of Selfishness),
Egoisme Etis merupakan satu-satunya filsafat moral yang menghormati integritas
kehidupan masing-masing individu. Menurut dia, Etika Altruis bersifat merusak
nilai hidup manusia sebagai individu di dunia ini. Etika Altruis yang cenderung
mengatakan pada setiap orang “hidupmu hanyalah sesuatu yang bersifat sementara
dan pantas dikorbankan,” dapat dikatakan cenderung menolak nilai diri pribadi
manusia. Perhatian pokok kaum altruis bukan bagaimana dapat hidup
sepenuh-penuhnya di dunia ini, tetapi bagaimana mati suci (bagaimana
mengorbankan hidup ini) bagi orang lain. Perhatian pokok macam ini dapat
membuat orang kurang menghargai dan memperkembangkan hidupnya semaksimal
mungkin.
Argumen tersebut kalau
mau dirumuskan secara singkat akan berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pribadi
manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau kita memandang setiap
individu bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap individu secara moral
bernilai dalam dirinya sendiri, maka kita mesti menyetujui bahwa hidup kita
yang satu ini amatlah penting untuk dipertahankan dan dikembangkan sepenuhnya.
(2) Etika Altruis
memandang hidup masing-masing individu sebagai suatu yang bila perlu mesti
direlakan untuk dikorbankan bagi orang lain.
(3) Maka Etika Altruis
tidak menganggap serius nilai hidup masing-masing individu manusia.
(4) Sedangkan, Egoisme
Etis, yang memperkenankan setiap pribadi manusia memandang hidupnya sendiri
sebagai bernilai paling tinggi, sungguh mengambil serius nilai hidup masing
-masing individu manusia; bahkan Egoisme Etis dapat dika-takan merupakan
satu-satunya teori moral yang melakukan hal itu.
(5) Maka Egoisme Etis
merupakan teori moral yang wajib diterima.
Argumen
yang ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral Egoisme Etis
adalah kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana memberikan satu prinsip
dasar untuk menjelas-kan macam-macam aturan dan pedoman perilaku manusia
sehari-hari. Di balik macam-macam aturan yang mengikat manusia dalam hidupnya
sehari-hari, seperti: tidak boleh menyakiti orang lain, wajib mengatakan yang
benar, wajib menepati janji, dsb., menurut Egoisme Etis, ada satu prinsip
dasar, yakni prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Aturan-aturan tersebut
dapat diterangkan berdasarkan prinsip mengejar kepentingan diri sendiri.
Mengapa kita tidak boleh menyakiti orang lain, misalnya, dapat dijelaskan
demikian: apabila kita biasa menyakiti orang lain, maka orang lain pun tidak
akan segan-segan atau ragu-ragu untuk menyakiti kita. Kalau kita menyakiti
orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat terjadi pula bahwa
karena kita menyakiti orang lain, kita akan dihukum dan dimasukkan penjara
karenanya. Dengan menyakiti orang lain, akhirnya kita sendiri akan rugi. Maka
pada dasarnya merupakan keuntungan bagi diri kita sendiri apabila kita tidak
menyakiti orang lain. Logika pemikiran yang sama dapat dipakai untuk menjelaskan
aturan-aturan lain yang wajib kita patuhi setiap hari.
2.3. Tanggapan Kritis:
Kalau
kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan nampak bahwa
argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme etis. Mengapa
demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam argumen pertama untuk mendukung
Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang mengejar apa yang dalam jangka
panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik, maka perbaikan sosial
atau terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan terjamin, karena
masing-masing individu lah yang paling tahu apa yang dia butuhkan. Kalau
Egoisme Etis sungguh konsisten dengan prinsipnya, maka ia tidak perlu peduli
akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan semua pihak akan
lebih terpenuhi. Kenyataan bahwa dalam argumen pertama hal tersebut dipedulikan
dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap egoistik, maka walaupun Egoisme Etis
menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip dasariah yang melandasinya
justru tidak egoistik.
Dalam
argumentasi kedua, Egoisme Etis nampaknya keluar sebagai teori moral yang lebih
baik atau lebih masuk akal daripada Etika Altruis. Akan tetapi hal itu terjadi
karena faham Etika Altruis digambarkan sedemikian ekstrim, sehingga tidak
sesuai dengan apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya. Dalam argumen tersebut
diberi kesan bahwa Etika Altruis itu mengajarkan bahwa kepentingan diri sendiri
itu sama sekali tidak bernilai dibandingkan dengan kepentingan orang lain,
sehingga setiap tuntutan untuk mengorbannkannya demi kepentingan orang lain
wajib dipenuhi.
Akan
tetapi gambaran tentang Etika Altruis, sebagaimana diberikan oleh Ayn Rand
sebagai penganjur Egoisme Etis, itu tidak fair, karena yang diajarkan oleh
Etika Altruis tidak seekstrim dalam gambaran tersebut. Yang diajarkan oleh
Etika Altruis adalah bahwa meskipun hidup masing-masing individu di dunia ini
merupakan suatu yang amat bernilai, namun bukanlah satu-satunya nilai dan juga
bukan nilai yang mutlak. Usaha mencapai kebagiaan hidup sejati manusia tidak
lepas dari perlunya bersikap baik terhadap orang lain dan kerelaan untuk
berkorban bagi manusia lain. Kalau hal tersebut sasamasekali diabaikan, karena
nilai hidup masing-masing individu di dunia ini dimutlakkan, maka kebahagiaan
sejati manusia justru tidak akan tercapai. Demikianlah, dengan terlalu
memutlakkan nilai hidup masing-masing individu manusia, Egoisme Etis justru
akan menggagalkan usahanya sendiri untuk mengejar apa yang paling menunjang
bagi terpenuhinya kepentingan diri yang sejati.
Berkenaan
dengan argumentasi ketiga, argumen ini pun tidak berhasil menegakkan Egoisme
Etis sebagai teori moral normatif yang dapat dan perlu diterima. Argumen
tersebut hanya mampu menunjukkan bahwa sebagai pedoman umum dapat dikatakan
bahwa memang lebih menguntungkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan kewajiban
dan tidak melanggar larangan sebagaimana diatur dalam pedoman perilaku
sehari-hari. Berusaha untuk tidak menyakiti orang lain memang pada umumnya
lebih menguntungkan untuk diri sendiri. Tetapi hal initidak selalu demikian.
Kadang-kadang dalam praktek orang lebih beruntung kalau dapat menyakiti orang
lain terlebih dulu daripada disakiti olehnya. Maka kewajiban untuk tidak
menyakiti orang lain dan kewajiban-kewajiban moral yang lain tidak dapat diturunkan
dari prinsip egoistik untuk mencari apa yang paling menguntungkan untuk diri
sendiri.
Selain
itu, seandainya benar bahwa dengan mendermakan uangnya kepada orang miskin pada
akhirnya diri sendirilah yang diuntungkan, kiranya tidak dapat ditarik
kesimpulan bahwa keuntungan diri sendirilah yang menjadi motif pokok tindakan
mendermakan uang kepada orang miskin. Yang seringkali terjadi adalah bahwa
motif pokok tindakan tersebut memang kepentingan orang yang ditolong, sedangkan
untuk diri sendiri itu hanyalah sekunder atau merupakan akibat samping dari
tindakan mau menolong orang lain tersebut. Seandainya betul bahwa semua
tindakan altruistik itu bermotifkan kepentingan egoistik, maka hidup sosial
manusia akan menjadi lebih sulit, karena dipenuhi rasa kecurigaan. Setiap
perbuatan baik akan selalu ditanggapi dengan sikap sinis, karena toh bukan kepentingan
orang yang ditolong yang menjadi fokus perhatian, tetapi diri sendiri. Orang
yang mendapatkan pertolongan sulit untuk berterima kasih, karena melulu hanya
dijadikan sarana saja bagi pemenuhan kepentingan diri si penolong saja.
Egoisme
Etis biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh Egoisme
Psikologis. Tetapi kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok Egoisme
Psikologis tidak dapat dipertahankan. Sebagaimana Egoisme Psikologis, Egoisme
Etis meredusir kompleksitas motivasi tindakan manusia pada motif mencari apa
yang menguntungkan bagi diri sendiri. Tetapi ini tidak sesuai dengan kenyataan.
Bahwasanya Egoisme Etis dapat menjelaskan kewajiban moral atas dasar prinsip
kepentingan diri atau motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri,
belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar
bagi kewajiban moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa kepentingan diri
merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral, maka Egoisme Etis sebagai
suatu teori moral normatif tidak dapat diterima.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Etika
http://prinsip-prinsipetikaprofesi.blogspot.com/
http://lovelycimutz.wordpress.com/2012/10/05/pendahuluan-etika-sebagai-tinjauan/
http://forumkuliah.wordpress.com/2009/01/23/egoisme-memilih-yang-paling-menguntungkan-untuk-diri-sendiri/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/10/pertemuan-ke_1-etika-sebagai-tinjauan/
http://donieorens.wordpress.com/2012/09/27/bab-i-pendahuluan-dan-etika-sebagai-tinjauan/
http://fikaamalia.wordpress.com/2012/09/27/bab-1-pendahuluan-dan-etika-sebagai-tinjauan/
http://id.wikipedia.org/wiki/Etika
http://prinsip-prinsipetikaprofesi.blogspot.com/
http://lovelycimutz.wordpress.com/2012/10/05/pendahuluan-etika-sebagai-tinjauan/
http://forumkuliah.wordpress.com/2009/01/23/egoisme-memilih-yang-paling-menguntungkan-untuk-diri-sendiri/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/10/pertemuan-ke_1-etika-sebagai-tinjauan/
http://donieorens.wordpress.com/2012/09/27/bab-i-pendahuluan-dan-etika-sebagai-tinjauan/
http://fikaamalia.wordpress.com/2012/09/27/bab-1-pendahuluan-dan-etika-sebagai-tinjauan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar