Sabtu, 28 September 2013

Etika Sebagai Tinjauan

1. Pengertian Etika

Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar salah, baik buruk, dan tanggung jawab.
St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).

2. Prinsip-Prinsip Etika

Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia.
1. Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2. Prinsip kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya .prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya .jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.
3. Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
4. Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam melayani masyarakat.

3. Basis Teori Etika

Basis teori etika dibagi menjadi 4 macam, yaitu pertama adalah etika Teleologi. Istilah teleologi berasal dari bahasa Yunani yang artinya adalah tujuan, di mana etika teleologi mengandung arti mengenai mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Terdapat 2 aliran etika teleologi yaitu, egoisme etis dan utilitarianisme. Egoisme etis memiliki pandangan bahwa tindakan dari setiap manusia pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral kita sebagai manusia adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar. Sedangkan utilitarianisme yang berasal dari bahasa Latin utilis yang berarti bermanfaat, memiliki pandangan bahwa suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja  satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
Basis teori etika yang kedua adalah Deontologi. Istilah dentologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti kewajiban, di mana yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan kita sebagai manusia adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang juga merupakan salah satu teori etika yang terpenting.
Basis teori etika yang ketiga adalah Teori Hak. Dalam pemikiran moral dewasa ini, teori hak adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi  baik buruknya  suatu perbuatan atau perilaku manusia. Teori Hak merupakan suatu aspek  dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
Basis teori etika yang ketiga adalah Teori Keutamaan, di mana mengandung arti  memandang  sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan  sebagai disposisi watak  yang telah diperoleh  seseorang dan memungkinkan  dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Contoh keutamaan adalah kebijaksanaan, keadilan, suka bekerja keras, dan hidup yang baik.

4. Egoisme
Karena teori etika Egoisme Etis mendasarkan diri pada teori Egoisme Psikologis, maka sebelum membahas Egoisme Etis ada baiknya kita kaji dulu Egoisme Psikologis.
1. Egoisme Psikologis
1.1. Pendapat pokok faham egoisme psikologis:
Egoisme psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Menurut faham ini, apa yang disebut sebagai sikap altruis (y.i. sikap mau mencintai dan berkorban diri demi kepentingan orang lain) hanyalah mitos belaka. Kalau dalam praktek kehidupan sehari-hari nampaknya terjadi, hal itu memang hanya nampaknya saja demikian. Sebab apabila orang mau meneliti apa motivasi sesungguhnya yang mendorong dilakukan tindakan itu, akan menjadi nyata bahwa tindakan altruis itu tidak lain hanyalah bentuk terselubung dari cinta diri.
1.2. Argumentasi untuk menolak kemungkinan adanya sikap altruis sungguh-sungguh:
1.2.1. Setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas padadasarnya muncul dari pilihan pelakunya untuk melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk dilakukan. Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial pengumpulan dana bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa ia bersikap altruis, sedangkan yang memakainya untuk menonton film bersikap egois. Karena pada keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang masing-masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa senang dan bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, sedangkan yang lain merasa senang dan bahagia kalau dapat melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini yang ia inginkan adalah menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang menguntungkan untuk dirinya sendiri.
1.2.2. Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau motivasi sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa yang ingin dia lakukan, ia merasa senang dan puas dan kemudian dapat tidur dengan pulas di waktu malam karena merasa telah menunaikan tugasnya dengan baik. Sedangkan kalau ia tidak menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, maka hatinuraninya terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai pamrih pribadi.
1.2.3. Untuk menjelaskan pendapat di atas, Thomas Hobbes (1588-1679) dan kemudian dikembangkan oleh Moritz Schlick (1881-1936) mengajukan pendapat bahwa untuk menilai suatu tindakan, orang perlu menemukan motivasi sesungguhnya dari tindakan tersebut, dan untuk ini orang perlu tidak hanya berhenti pada penafsiran yang dangkal. Menyebut suatu tindakan sebagai ungkapan sikap altruis menurut dia merupakan suatu penafsiran yang terlalu dangkal terhadap kejadian yang sesungguhnya. Kalau orang mau mengakui kenyataan, motivasi yang sesungguhnya selalu mengandung unsur cinta diri. Sebagai contoh misalnya apa yang disebutcintakasih. Motivasi yang sesungguhnya di balik tindakan menolong orang lain adalah mau menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari yang lain, lebih mampu, lebih unggul dari yang ditolong. Dalam tindakan berbelaskasih, alasan yang sebenarnya mengapa kita mempunyai rasa belaskasih terhadap sesama manusia yang menderita adalah karena kita sendiri berharap agar kalau kita berada dalam situsai macam itu orang lain pun berbelaskasih atau mau menolong kita. Pada orang yang berbelaskasih ada kekhawatiran jangan-jangan penderitaan atau kemalangan yang sama nanti suatu ketika juga menimpa dirinya.
1.3. Tanggapan kritis:
Seperti pernah secara cukup jeli dikemukakan oleh James Rachels,[1] argumentasi yang mendasari faham egoisme psikologis sepintas nampak sulit dibantah, namun argumentasinya sebenarnya muncul karena beberapa kerancuan pengertian. Kalau kerancuan tersebut dapat diurai, menjadi jelas bahwa argumentasi mereka yang menganut egoisme psikologis tidak dapat dipertahankan. Sekurang-kurangnya terkandung tiga jenis kerancuan pengertian dalam argumentasi yang dikemukakan oleh para penganut dan penganjur egoisme psikologis. Kerancuan yang pertama adalah kerancuan pengertian antara egoisme dalam arti mendahulukan kepentingan diri sendiri (selfishness) dan egoisme dalam artiberguna untuk diri sendiri (self-interest). Keduanya tidak sama. Kalau saya mematuhi hukum yang berlaku atau bekerja keras di kantor, ini tidak dapat dikatakan bahwa saya egois dalam arti hanya mendahulukan kepentingan diri saya sendiri. Perbuatan itu memang pada dasarnya berguna (atau mungkin lebih tepat bernilai) untuk diri saya sendiri. Arti yang kedua ini sebenarnya tidak tepat untuk disebut egois. Dalam pengertian egois sebenarnya selalu terkandung penilaian negatif bahwa si pelaku tidak mempedulikan kepentingan orang lain dan hanya mementingkan dirinya sendiri melulu.
Kerancuan yang kedua adalah kerancuan antara pengertianperilaku yang mengejar kepentingan diri (self-interested behavior)dan perilaku yang disukai, karena memberi nikmat (the pursuit of pleasure). Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal seringkali kita lakukan memang karena kita menyukainya. Tetapi kenyataan bahwa kita melakukan suatu perbuatan karena kita menyukainya, atau bahwa perbuatan itu membawa kenikmatan tersendiri bagi kita, tidak dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa perbuatan kita itu muncul berdasarkan motif egoisme, dalam arti hanya mengejar kepentingan diri sendiri. Kalau ada orang yang suka menghisap rokok kretek dalam-dalam setelah makan siang, karena hal itu terasa nikmat untuknya, kita tidak dapat mengatakan bahwa perbuatan orang itu dengan sendirinya bermotifkan egoisme. Baru kalau dalam menghisap rokok tersebut ia sama sekali tidak peduli akan keluhan tetangganya yang sedang sakit flu, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang egois.
 Kerancuan yang ketiga adalah kerancuan pengertian bahwa suatu perhatian akan kepentingan diri sendiri selalu tidak dapat diselaraskan dengan kepentingan sejati dari orang lain. Karena sudah jelas bahwa setiap orang (atau hampir setiap orang) selalu memperhatikan apa yang menjadi kepentingannya, para penganut egoisme psikologis menarik kesimpulan bahwa setiap orang itu egois dan tidak pernah secara sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan orang lain. Anggapan ini tentu saja keliru. Pengejaran kepentingan diri sendiri tidak dengan sendirinya bertabrakan dengan kepentingan orang lain.Memang tidak jarang terjadi bahwa timbul tabrakan antara kepentingan diri kita sendiri dengan kepentingan orang lain.Tetapi hal ini tidak selalu terjadi, dan kalau itu terjadi, tidak dengan sendirinya pula bahwa kita mendahulukan kepentingan diri kita sendiri seraya mengorbankan kepentingan orang lain.Kenyataan bahwa ada orang yang secara tulus berkorban untuk orang lain, seperti seorang ibu bagi anaknya, seorang gadis bagi pemuda idamannya, dsb., membuktikan bahwa dalam berbuat, orang pada dasarnya secara psikologis tidak selalu didorong oleh egoisme.
Dalam usaha untuk menemukan faktor pokok yang menentukan tindakan manusia, para penganut egoisme psikologis melupakan bahwa motivasi tindakan manusia itu dapat bersifat kompleks. Menyatakan bahwa semua tindakan manusia pada dasarnya didorong oleh motivasi egois merupakan suatu penyederhanaan yang mengabaikan kompleksitas tersebut. Pernyataan yang bersifat reduksionistik (terlalu menyederhanakan) itu juga mengungkapkan sikap yang terlalu sinis terhadap perbuatan baik orang. Dengan alasan menekankan kejujuran untuk mengakui apa yang sesungguh-nya menjadi motivasi seseorang untuk bertindak, lalu secara sinis terlalu cepat curiga akan maksud baik orang lain.
2. Egoisme Etis
2.1. Pendapat pokok faham egoisme etis:
Egoisme etis adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, menurut faham ini, tindakan yang baik dan dengan demikian wajib diambil adalah tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Satu-satunya kewajiban manusia adalah mengusahakan agar kepentingannya sendiri dapat terjamin.
Ini tidak berarti bahwa kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan. Karena, bisa jadi demi pencapaian hasil yang paling menguntungkan untuk diri sendiri, orang justru perlu mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam hal ini kenyataan bahwa tindakan itu membawa keuntungan atau kebaikan untuk orang lain bukanlah hal yang membuat tindakan tersebut benar. Yang membuat tindakan itu benar adalah fakta bahwa tindakan itu menunjang usaha untuk memperoleh apa yang paling menguntungkan bagi dirinya.
Faham ini juga tidak bermaksud menganjurkan untuk mencari nikmat pribadi sepuas-puasnya, seperti halnya diajarkan oleh faham Hedonisme. Justru dalam banyak hal faham Egoisme Etis melarang pencarian nikmat pribadi, karena hal itu dalam jangka panjang justru tidak menguntungkan. Yang dianjurkan oleh Egoisme Etis adalah agar setiap orang melakukan apa yang sesungguhnya dalam jangka panjang akan menguntungkan untuk dirinya (“A person ought to do what really is to his or her own best advantage, over the long run.”) Egoisme Etis memang menganjurkan “selfishness” tetapi bukan “foolishness”.
2.2. Argumen-argumen untuk mendukung Egoisme Etis:
Argumen pertama yang biasanya dipakai untuk mendukung Egoisme Etis adalah kenyataan bahwa kalau kita mau mengusahakan hal-hal yang menguntungkan semua pihak, masing-masing orang justru wajib memperhatikan kepentingannya sendiri. Karena yang paling tahu tentang apa yang paling dibutuhkan oleh seseorang adalah orang itu sendiri, dan bukan orang lain. Kalau kita cenderung mau mengurusi orang lain, dapat terjadi bahwa kita justru tidak menguntungkan semua pihak.
Seperti dinyatakan oleh Robert G. Olson dalam bukunya The Morality of Self-Interest (1968), “The individual is most likely to contribute to social betterment by rationally pursuing his own best long-range interests” (“Masing-masing individu akan paling menyumbang pada perbaikan sosial [kalau masing-masing individu] dengan secara rasional mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik”). Masing-masing orang sendiri lah yang paling tahu akan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Kita tidak pernah tahu persis apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain. Kalau kita mencampuri urusan orang lain, campurtangan ini justru malah hanya merusak kesejahteraannya, karena bersifat ofensif bagi kebebasannya untuk menentukan diri. Mencampuri urusan orang lain dapat melanggar prinsip “privacy” seseorang. Menjadikan orang lain sebagai objek atau sasaran perbuatan karitatif kita, sama saja dengan merendahkan martabatnya. Dengan memperhatikan kepentingan orang lain, kita dapat menciptakan situasi ketergantungan dan kurang menghargai kemampuan serta harga diri orang yang ditolong.
Argumen yang kedua mendasarkan diri pada keunggulan Egoisme Etis dibandingkan dengan Etika Altruis dalam menjunjung tinggi nilai hidup masing-masing individu. Seperti dinyatakan oleh Ayn Rand (dalam bukunya The Virtues of Selfishness), Egoisme Etis merupakan satu-satunya filsafat moral yang menghormati integritas kehidupan masing-masing individu. Menurut dia, Etika Altruis bersifat merusak nilai hidup manusia sebagai individu di dunia ini. Etika Altruis yang cenderung mengatakan pada setiap orang “hidupmu hanyalah sesuatu yang bersifat sementara dan pantas dikorbankan,” dapat dikatakan cenderung menolak nilai diri pribadi manusia. Perhatian pokok kaum altruis bukan bagaimana dapat hidup sepenuh-penuhnya di dunia ini, tetapi bagaimana mati suci (bagaimana mengorbankan hidup ini) bagi orang lain. Perhatian pokok macam ini dapat membuat orang kurang menghargai dan memperkembangkan hidupnya semaksimal mungkin.
Argumen tersebut kalau mau dirumuskan secara singkat akan berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau kita memandang setiap individu bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap individu secara moral bernilai dalam dirinya sendiri, maka kita mesti menyetujui bahwa hidup kita yang satu ini amatlah penting untuk dipertahankan dan dikembangkan sepenuhnya.
(2) Etika Altruis memandang hidup masing-masing individu sebagai suatu yang bila perlu mesti direlakan untuk dikorbankan bagi orang lain.
(3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai hidup masing-masing individu manusia.
(4) Sedangkan, Egoisme Etis, yang memperkenankan setiap pribadi manusia memandang hidupnya sendiri sebagai bernilai paling tinggi, sungguh mengambil serius nilai hidup masing -masing individu manusia; bahkan Egoisme Etis dapat dika-takan merupakan satu-satunya teori moral yang melakukan hal itu.
(5) Maka Egoisme Etis merupakan teori moral yang wajib diterima.
Argumen yang ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral Egoisme Etis adalah kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana memberikan satu prinsip dasar untuk menjelas-kan macam-macam aturan dan pedoman perilaku manusia sehari-hari. Di balik macam-macam aturan yang mengikat manusia dalam hidupnya sehari-hari, seperti: tidak boleh menyakiti orang lain, wajib mengatakan yang benar, wajib menepati janji, dsb., menurut Egoisme Etis, ada satu prinsip dasar, yakni prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Aturan-aturan tersebut dapat diterangkan berdasarkan prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Mengapa kita tidak boleh menyakiti orang lain, misalnya, dapat dijelaskan demikian: apabila kita biasa menyakiti orang lain, maka orang lain pun tidak akan segan-segan atau ragu-ragu untuk menyakiti kita. Kalau kita menyakiti orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat terjadi pula bahwa karena kita menyakiti orang lain, kita akan dihukum dan dimasukkan penjara karenanya. Dengan menyakiti orang lain, akhirnya kita sendiri akan rugi. Maka pada dasarnya merupakan keuntungan bagi diri kita sendiri apabila kita tidak menyakiti orang lain. Logika pemikiran yang sama dapat dipakai untuk menjelaskan aturan-aturan lain yang wajib kita patuhi setiap hari.
2.3. Tanggapan Kritis:
Kalau kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan nampak bahwa argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme etis. Mengapa demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam argumen pertama untuk mendukung Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik, maka perbaikan sosial atau terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan terjamin, karena masing-masing individu lah yang paling tahu apa yang dia butuhkan. Kalau Egoisme Etis sungguh konsisten dengan prinsipnya, maka ia tidak perlu peduli akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan semua pihak akan lebih terpenuhi. Kenyataan bahwa dalam argumen pertama hal tersebut dipedulikan dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap egoistik, maka walaupun Egoisme Etis menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip dasariah yang melandasinya justru tidak egoistik.
Dalam argumentasi kedua, Egoisme Etis nampaknya keluar sebagai teori moral yang lebih baik atau lebih masuk akal daripada Etika Altruis. Akan tetapi hal itu terjadi karena faham Etika Altruis digambarkan sedemikian ekstrim, sehingga tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya. Dalam argumen tersebut diberi kesan bahwa Etika Altruis itu mengajarkan bahwa kepentingan diri sendiri itu sama sekali tidak bernilai dibandingkan dengan kepentingan orang lain, sehingga setiap tuntutan untuk mengorbannkannya demi kepentingan orang lain wajib dipenuhi.
Akan tetapi gambaran tentang Etika Altruis, sebagaimana diberikan oleh Ayn Rand sebagai penganjur Egoisme Etis, itu tidak fair, karena yang diajarkan oleh Etika Altruis tidak seekstrim dalam gambaran tersebut. Yang diajarkan oleh Etika Altruis adalah bahwa meskipun hidup masing-masing individu di dunia ini merupakan suatu yang amat bernilai, namun bukanlah satu-satunya nilai dan juga bukan nilai yang mutlak. Usaha mencapai kebagiaan hidup sejati manusia tidak lepas dari perlunya bersikap baik terhadap orang lain dan kerelaan untuk berkorban bagi manusia lain. Kalau hal tersebut sasamasekali diabaikan, karena nilai hidup masing-masing individu di dunia ini dimutlakkan, maka kebahagiaan sejati manusia justru tidak akan tercapai. Demikianlah, dengan terlalu memutlakkan nilai hidup masing-masing individu manusia, Egoisme Etis justru akan menggagalkan usahanya sendiri untuk mengejar apa yang paling menunjang bagi terpenuhinya kepentingan diri yang sejati.
Berkenaan dengan argumentasi ketiga, argumen ini pun tidak berhasil menegakkan Egoisme Etis sebagai teori moral normatif yang dapat dan perlu diterima. Argumen tersebut hanya mampu menunjukkan bahwa sebagai pedoman umum dapat dikatakan bahwa memang lebih menguntungkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan kewajiban dan tidak melanggar larangan sebagaimana diatur dalam pedoman perilaku sehari-hari. Berusaha untuk tidak menyakiti orang lain memang pada umumnya lebih menguntungkan untuk diri sendiri. Tetapi hal initidak selalu demikian. Kadang-kadang dalam praktek orang lebih beruntung kalau dapat menyakiti orang lain terlebih dulu daripada disakiti olehnya. Maka kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain dan kewajiban-kewajiban moral yang lain tidak dapat diturunkan dari prinsip egoistik untuk mencari apa yang paling menguntungkan untuk diri sendiri.
Selain itu, seandainya benar bahwa dengan mendermakan uangnya kepada orang miskin pada akhirnya diri sendirilah yang diuntungkan, kiranya tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa keuntungan diri sendirilah yang menjadi motif pokok tindakan mendermakan uang kepada orang miskin. Yang seringkali terjadi adalah bahwa motif pokok tindakan tersebut memang kepentingan orang yang ditolong, sedangkan untuk diri sendiri itu hanyalah sekunder atau merupakan akibat samping dari tindakan mau menolong orang lain tersebut. Seandainya betul bahwa semua tindakan altruistik itu bermotifkan kepentingan egoistik, maka hidup sosial manusia akan menjadi lebih sulit, karena dipenuhi rasa kecurigaan. Setiap perbuatan baik akan selalu ditanggapi dengan sikap sinis, karena toh bukan kepentingan orang yang ditolong yang menjadi fokus perhatian, tetapi diri sendiri. Orang yang mendapatkan pertolongan sulit untuk berterima kasih, karena melulu hanya dijadikan sarana saja bagi pemenuhan kepentingan diri si penolong saja.
Egoisme Etis biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh Egoisme Psikologis. Tetapi kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok Egoisme Psikologis tidak dapat dipertahankan. Sebagaimana Egoisme Psikologis, Egoisme Etis meredusir kompleksitas motivasi tindakan manusia pada motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri. Tetapi ini tidak sesuai dengan kenyataan. Bahwasanya Egoisme Etis dapat menjelaskan kewajiban moral atas dasar prinsip kepentingan diri atau motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri, belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral, maka Egoisme Etis sebagai suatu teori moral normatif tidak dapat diterima.


Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Etika
http://prinsip-prinsipetikaprofesi.blogspot.com/
http://lovelycimutz.wordpress.com/2012/10/05/pendahuluan-etika-sebagai-tinjauan/
http://forumkuliah.wordpress.com/2009/01/23/egoisme-memilih-yang-paling-menguntungkan-untuk-diri-sendiri/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/10/pertemuan-ke_1-etika-sebagai-tinjauan/
http://donieorens.wordpress.com/2012/09/27/bab-i-pendahuluan-dan-etika-sebagai-tinjauan/
http://fikaamalia.wordpress.com/2012/09/27/bab-1-pendahuluan-dan-etika-sebagai-tinjauan/